Preloader Logo

Pengendalian Hama Ulat Buah (Helicoverpa armigera Hubner) pada Tanaman Cabai​

Cover Wiki

Penulis:
Stella Nostra Gracia Plena, Aisyah, Rahmat Fauzi


Identifikasi

Klasifikasi Hama

Hama ulat buah atau bisa disebut penggerek buah, Helicoverpa armigera Hubn. merupakan salah satu hama penting pada tanaman cabai merah. H. armigera adalah salah satu hama utama yang mampu menjadi faktor pembatas produksi (Hasyim et al., 2013).

Secara umum, hama ini memiliki badan dan kaki yang bersisik. H. armigera akan berkembang secara holometabola, yang artinya dalam perkembangannya, larva akan berubah menjadi pupa dan pupa berubah menjadi kupu-kupu. Larva H. armigera akan aktif mencari makan pada waktu malam hari. Larvanya memiliki bulu yang jarang, agak pendek, dan kaku, sedangkan ngengatnya berukuran besar dengan sayap yang lebar (Pracaya, 2007).

Berikut merupakan klasifikasi hama ulat buah pada tanaman cabai (Pracaya, 2007):

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Familia : Noctuidae
Genus : Helicoverpa
Spesies : Helicoverpa armigera


Telur H. armigera


Lava H. armigera

Telur H. armigera

Lava H. armigera


Morfologi H. armigera: Telur


Morfologi H. armigera: Pupa


Morfologi H. armigera: Larva


Morfologi H. armigera: Ngengat

Siklus Hidup

H. armigera dapat meletakkan 1000 hingga 1500 telur secara mandiri, biasanya pada bagian atas tanaman seperti daun, batang, dan bunga. Peletakkan telur biasanya dilakukan saat malam hari. Masa inkubasi berkisar 3-4 hari pada musim panas. Selanjutnya periode penetasan berlangsung selama 5-7, 5-6, dan 4-6 hari pada generasi pertama, kedua, dan ketiga secara terpisah. Larva akan berkembang melalui lima fase, pada musim panas membutuhkan waktu sekitar 21 hari, namun periode ini dapat bervariasi tergantung pada generasinya. Masa normal periode larva pada generasi pertama, kedua, dan ketiga masing-masing sekitar 30.4 hari, 38.2 hari, dan 23-28 hari. Sebelum membentuk kepompong, ulat yang diberi makan penuh menghabiskan waktu 4.2, 4, dan 4.76 hari sebagai periode pra-pupa. Periode kepompong akan berlangsung sekitar 21.2, 24.3, dan 13.7 hari tiap generasinya. Tahap pupa akhir akan berlangsung sekitar 14-21 hari. H. armigera menyelesaikan siklus hidupnya (telur hingga dewasa) dalam waktu 55-61 hari pada musim dingin dan 42-50 hari pada musim panas, tergantung pada sumber makanannya. Pada situasi iklim yang normal, berbagai faktor seperti kelembapan, curah hujan, sistem tanam berbeda, dan yang lainnya dapat mempengaruhi pola keberadaan hama ini (Yadav et al., 2022).

Siklus hidup H. armigera (Yadav et al., 2022)

Inang Hama

H. armigera bersifat polifag dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi pada beberapa tanaman, di antaranya adalah jagung, kapas, tomat, bunga matahari, kacang-kacangan, dan tembakau (Haile et al., 2021). Larva H. armigera menyerang lebih dari 60 jenis tanaman budi daya dan tanaman liar. Larva H. armigera dilaporkan menyerang sekitar 67 famili inang antara lain Asteraceae, Fabaceae, Malvaceae, Poaceae, dan Solanaceae (Czepak et al., 2013).

Kondisi Ideal

H. armigera memiliki mobilitas dan kemampuan hidup yang tinggi bahkan dalam kondisi yang tidak menguntungkan, karena sifatnya yang polifag sehingga mampu beradaptasi tinggi dengan beberapa inang. Selain itu, H. armigera sangat mudah menyebar karena pada fase dewasa serangga ini merupakan serangga imigran yang dapat menempuh jarak terbang hingga 1000 km (Czepak et al., 2013). H. armigera tersebar di daerah tropis sampai subtropis dan mampu hidup dengan baik di ketinggian 0-2000 mdpl (Haile et al., 2021).

Gejala

Gejala serangan larva H. armigera bervariasi. Pada daun, lavar akan membentuk lubang-lubang acak. Jika serangannya berat, daun akan habis dimakan. Pada tunas, serangan larva akan menyebabkan kerontokan sebelum menjadi bunga atau daun, sedangkan pada buahnya larva H. armigera akan membuat lubang-lubang dan menyebabkan kerusakan berat. Lubang-lubang yang dibentuk oleh larva H. armigera saat menyerang dibuat secara melingkat dan seringkali dikelilingi oleh bekas kotoran. Pada kerusakan berat, buah yang terserang akan membusuk dan jatuh ke tanah (Pracaya, 2007).

Gejala serangan ulat buah pada buah cabai (Anonim, 2022)

Cara Serangan

Pada umumnya, ngengat betina akan meletakkan telur pada bagian tanaman seperti pucuk, batang, kelopak, dan tangkai bunga. Selanjutnya, setelah berkembang menjadi larva, H. armigera akan memakan bagian tanaman yang kaya akan nitrogen seperti daun dan batang, dan cenderung ke arah kuncup dan perbungaan. H. armigera akan menyerang tanaman cabai saat mulai berbuah. Hama ini akan menyerang buah dengan melubangi dinding pada buah cabai yang mengakibatkan menurunnya kualitas buah cabai. H. armigera akan menyebabkan kerusakan pada fase vegetatif dan generatif tanaman cabai sehingga menghambat pertumbuhan dan menurunkan hasil produksi cabai (Yadav et al., 2022).

Serangan ulat buah pada buah cabai (Zuim & Pratissoli, 2015)

Dampak Kerusakan

Kerusakan langsung pada struktur pembungaan dan pembuahan cabai oleh H. armigera dapat menyebabkan rendahnya efisiensi kegiatan pengendalian sehingga meningkatkan biaya pengendalian secara signifikan (Yadav et al., 2022). Kehilangan hasil karena serangan hama H. armigera pada tanaman cabai dapat mencapai 60% (Hasyim et al., 2013).


Teknik Pengendalian

Tindakan Pencegahan

Teknik pengendalian hama terpadu (HPT) dilakukan bertujuan agar tanaman tidak mengalami gangguan, kerusakan, dan penurunan produksi bahkan kegagalan panen yang disebabkan oleh serangan hama tanaman. Perlindungan tanaman dapat dilakukan secara pencegahan (preventif), pemberantasan (eradikasi), dan pengobatan (kuratif). Proses perlindungan tanaman dapat dilakukan mulai dari sebelum terserang oleh hama atau patogen, sedang terserang, dan sesudah terjadi serangan hama dan penyakit (Asril et al., 2022). Dewasa ini, dampak perubahan iklim telah mengalami perubahan kesesuaian bentang alam yang menyebabkan peningkatan hama yang menyerang tanaman (Zhou & Tian, 2022). Maka dari itu, tindakan pengendalian secara preventif sangat penting agar buah tanaman cabai tidak mudah terserang hama. Teknik pengendalian preventif merupakan langkah perlindungan tanaman yang dapat dilakukan mulai dari tahapan perbanyakan seperti pemilihan benih atau varietas, pembibitan, kemudian pada proses penanaman seperti pengolahan tanah, dan pemanenan di antaranya pengolahan pasca panen dan penyimpanan (Asril et al., 2022).

1. Gunakan Varietas Tahan

Konsep pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan menggunakan varietas tahan menjadikan tanaman lebih kuat dan sehat sehingga mampu bertahan dari serangan hama dan lebih mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam mengatasi kerusakan akibat serangan tersebut (Hidayat et al., 2022). Oleh karena itu, dalam pengendalian hama ulat Helicoverpa armigera pada tanaman cabai, pemilihan varietas tahan menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan oleh petani ketika akan melakukan penanaman. Hama ulat Helicoperva armigera menyukai lingkungan hidup dengan suhu rata-rata sekitar 27,6℃ dan mampu berkembang hampir sepanjang tahun dengan curah hujan sekitar 11,79 mm/hari (Herlinda et al., 2005). Beberapa jenis Varietas tanaman cabai di Indonesia yang diketahui tahan terhadap serangan ulat dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel. Varietas cabai unggulan yang berpotensi tahan ulat Helicoverpa armigera

No

Nama Varietas

Tingkat Ketahanan

Produktivitas

Adaptasi Iklim

1.

Cabai Besar Tanjung-1

Toleran terhadap hama ulat dan hama penghisap daun (Thrips). Akan tetapi agak peka terhadap penyakit antraknosa

5,3-18,5 ton/ha

Baik di tanam pada musim kemarau

2

Cabai Rawit Cabai ORI 212

Tahan terhadap hama dan penyakit seperti hama aphid, trips, dan toleran penyakit antraknosa

Rata-rata hasil tertinggi 23,51-28,78 ton/ha

Sesuai ditanam pada dataran rendah (0-500 meter dpl)

3

Cabai Merah Lembang-1

Agak toleran terhadap hama penghisap daun (Thrips) dan agak tahan terhadap penyakit antraknosa

5,6-19 ton/ha

Beradaptasi baik di dataran tinggi (850-1.300 mdpl)

4

Cabai Merah Tanjung-2

Agak peka terhadap hama penghisap daun (Thrips) dan agak toleran terhadap penyakit antraknosa

6-19,9 ton/ha

Sesuai ditanam di daerah dataran rendah dan tinggi

2. Pengolahan Tanah

Tanah merupakan salah satu media tumbuh tanaman yang memiliki peran penting dalam mencapai pertumbuhan tanaman yang optimal, termasuk budi daya tanaman cabai. Pengolahan tanah merupakan salah satu tahapan penting sebelum dilakukannya penanaman cabai. Proses pengolahan tanah di antaranya terdapat pencangkulan, pembuatan bedengan, pengapuran, pemupukan dasar, dan pemasangan mulsa. Proses pengolahan tanah menjadi tahapan penting sebelum masuk ke tahap penanaman salah satunya disebabkan karena tanah merupakan tempat hidup dari berbagai mikroorganisme mulai dari mikrorganisme bermanfaat hingga yang merugikan termasuk hama pengganggu tanaman cabai (BALITSA et al., 2014). Pengolahan tanah dilakukan dengan tujuan untuk membuat lapisan oleh gembur, menghilangkan racun, menghilangkan gulma atau sisa tanaman, dan memutus siklus hidup OPT dalam tanah, dengan pengolahan tanah bahan organik akan cepat teroksidasi yang disebabkan peningkatan aerasi tanah dan meningkatkan kontak langsung antara tanah dan bahan organik. Oleh karena itu, pengolahan tanah sebagai salah satu teknik pengendalian agar siklus hidup hama dan patogen tanaman cabai terputus termasuk sebagai upaya untuk memutus siklus hidup dari hama ulat Helicoverpa armigera. Selain itu, sebelum lahan bisa ditanami diperlukan rentang waktu minimal 1 bulan setelah pengolahan tanah agar patogen dan kepompong hama di dalam tanah mati terkena sinar matahari (Kementerian Pertanian, 2014).

Cara pengolahan tanah yang pertama adalah dengan pencangkulan yang berfungsi untuk menggemburkan dan membalikkan lapisan tanah. Selain menggemburkan, pencangkulan dapat mengusir beberapa jenis hama dan penyakit serta membersihkan lahan dari tumbuhan yang tidak diinginkan seperti gulma. Selanjutnya, tanah yang telah dicangkul dibuat menjadi gundukan-gundukan tanah berupa bedengan apabila bedengan tanah telah terbentuk, dilakukan pengapuran apabila tanah masam (pH<5.5) dengan mengaplikasikan kapur dolomit berkisar 1-2 ton/ha dan dicangkul kembali. Tahapan selanjutnya adalah pemberian pupuk dasar berupa pupuk organik seperti pupuk kandang ayam sebanyak 10-15 ton/ha. Tahapan terakhir yaitu pemasangan mulsa baik mulsa plastik ataupun mulsa jerami yang memberi keuntungan di antaranya untuk menghambat pertumbuhan gulma yang dapat menjadi inang tempat bertelurnya hama ulat dan OPT lainnya, mengurangi biaya penyiangan, mencegah erosi tanah, menjaga kelembapan dan kesuburan tanah, dan menjaga pupuk dari pencucian oleh air hujan (Rosdiana et al., 2011).

Pengolahan tanah

Pencangkulan dan
pembuatan bedengan
(Sumber: Dian Putri, 2018)

Pengolahan tanah

Pengapuran
(Sumber: Anonim, 2017)

Pengolahan tanah

Pemupukan

Pengolahan tanah

Pemasangan mulsa
(Anonim, 2023)

3. Sanitasi

Pengendalian hama dan penyakit melalui sanitasi dilakukan dengan membersihkan sisa-sisa tanaman, limbah, dan gulma. Proses sanitasi dilakukan tidak hanya pada saat ada tanamannya, namun pada saat pengolahan tanah, semak-semak atau turiang-turiang yang ada harus dibersihkan untuk menghindari adanya penggunaan gulma sebagai inang bagi hama. Kegiatan sanitasi dapat dilakukan dengan cara dibakar, dibenamkan, serta pengumpulan dan pembersihan baik buah atau bagian tanaman yang telah terserang hama dan penyakit (Sopialena, 2019).

4. Penggunaan Mulsa

Penggunaan mulsa pada proses budi daya merupakan upaya membangun kembali ekosistem yang mengalami kerusakan dengan cara memanipulasi habitatnya (Subiyakto et al., 2008). Mulsa merupakan bahan penutup tanah yang berfungsi menjaga kestabilan kelembaban dan suhu media tanaman, menghambat pertumbuhan gulma, mencegah erosi permukaan tanah, mengurangi penguapan, mencegah datangnya hama dan mencegah pertumbuhan dan perkembangan penyakit. Penggunaan jenis mulsa yang berbeda pada tanaman mempunyai pengaruh yang berbeda baik pada pengaturan suhu, kelembapan, kandungan air tanah, penekanan gulma dan organisme pengganggu (Tinambunan et al., 2014). Jenis-jenis mulsa terbagi menjadi mulsa organik, mulsa anorganik, dan mulsa kimia-sintetis (Muslim & Soelistyono, 2017).

Mulsa organik merupakan mulsa yang tersusun dari bahan sisa tanaman seperti jerami, batang jagung, pangkasan tanaman pagar, daun-daun dan ranting-ranting pohon (Muslim & Soelistyono, 2017). Manfaat mulsa organik yaitu dapat memperbaiki kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah, menjaga kestabilan suhu tanah agar tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin sehingga cadangan air tanah lebih terjaga. Manfaat lain, meningkatnya bahan organik dan aktivitas organisme tanah baik mikro maupun makro seperti cacing, jasad renik, dan mikroba dekomposer. Tersedianya bahan organik dan organisme tanah menjadi salah satu faktor dalam mendukung perbaikan sifat fisik tanah. Limbah sekam dan limbah jerami padi merupakan bahan organik sisa tanaman yang sering dimanfaatkan oleh petani sebagai mulsa penutup tanah (Amir et al., 2022). Penggunaan mulsa organik perlu penambahan setiap tahun atau musim disebabkan mulsa akan melapuk dan membusuk. Maka dari itu, diperlukan penambahan mulsa yang tergantung dari kecepatan pembusukan. Mulsa jerami padi memiliki karakteristik lama melapuk dibandingkan bahan organik dari sisa tanaman famili leguminose.

Mulsa sisa tanaman: sisa akar dan ranting tanaman

Mulsa sisa tanaman: mulsa jerami padi (Topanadi, 2018)

Mulsa kimia-sintetis merupakan mulsa yang terbuat dari bahan sintetis dan kimia lainnya seperti mulsa plastik yang dapat dilihat pada figure 2. Mulsa plastik biasanya digunakan petani pada tanaman dengan nilai ekonomis tinggi yang bertujuan untuk mengurangi penguapan air dari tanah dan menekan pertumbuhan gulma serta serangan hama dan penyakit. Mulsa plastik akan dibentangkan di setiap guludan-guludan tanah yang telah diolah dan siap untuk ditanami. Salah satu komoditas tanaman bernilai ekonomis tinggi adalah tanaman cabai. Berdasarkan penelitian oleh Darmawan et al. (2014) yang melakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan mulsa plastik di luar musim tanam cabai menunjukkan bahwa penggunaan mulsa dalam budi daya cabai memberikan hasil yang baik dengan produksi 12,31 ton/ha. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ardhona et al. (2013) menyatakan bahwa penggunaan mulsa plastik menghasilkan jumlah buah total paling tinggi dibandingkan mulsa jerami atau tanpa mulsa. Penggunaan mulsa plastik dapat menyerap cahaya matahari dalam jumlah yang relatif banyak sehingga laju fotosintesis tanaman juga semakin banyak. Hal ini disebabkan karena kanopi tanaman banyak menyerap cahaya yang dipantulkan oleh mulsa plastik (Muslim & Soelistyono, 2017).

Pemasangan mulsa plastik

Mulsa plastik pada tanaman cabai (Anonim, 2017)

Mulsa plastik menjadi bahan mulsa yang banyak digunakan petani cabai untuk meningkatkan produktivitas dan efesiensi tanaman. Akan tetapi dalam penggunaannya petani harus mampu memilih dengan tepat jenis mulsa plastik yang akan digunakan. Jenis-jenis mulsa plastik yang perlu diketahui oleh petani diantaranya dapat dilihat pada Figure 7.

  1. Mulsa plastik bening yang merupakan jenis plastik transparan yang biasanya digunakan dalam proses budidaya sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias. Mulsa plastik bening mampu melindungi tanaman dari serangan hama dan gulma serta membantu memberikan panas yang cukup untuk pertumbuhan tanaman. selain itu, mulsa plastik bening memiliki kemampuan dalam mengontrol kelembaban tanah.

  2. Mulsa plastik putih yaitu mulsa yang memiliki warna putih pada lapisan luarnya yang berfungsi untuk memantulkan cahaya matahari agar suhu di dalam tanah menurun. Mulsa plastik putih biasanya digunakan petani pada musim panas untuk membuat tanaman tetap sejuk dan terlindungi dari suhu ekstrem.

  3. Mulsa plastik perak adalah mulsa yang memiliki lapisan reflektif berfungsi untuk memantulkan cahaya dan mengurangi jumlah cahaya yang diterima oleh tanaman. Mulsa plastik ini sesuai digunakan untuk melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit serta menjaga kestabilan kelembaban tanah.

  4. Mulsa plastik hitam merupakan mulsa yang efektif digunakan dalam mengontrol gulma. Mulsa plastik hitam pada umumnya digunakan petani pada saat musim dingin karena kemampuannya dalam menyerap cahaya matahari dan menjaga suhu tanah di bawahnya sangat baik sehingga tanaman tetap hangat dan terjaga dari suhu ekstrem.

  5. Mulsa plastik merah biasanya cocok digunakan pada tanaman stroberi dan tomat karena mulsa plastik merah merupakan mulsa yang khusus digunakan untuk tanaman yang membutuhkan cahaya merah dalam pertumbuhannya.

  6. Mulsa plastik biru merupakan mulsa yang memiliki fungsi khusus untuk melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit. Warna biru pada mulsa bersifat repellent atau memiliki sifat penolak serangga.

  7. Mulsa plastik perak perak pada umumnya digunakan untuk tanaman yang memerlukan lingkungan yang dingin dan lembab untuk pertumbuhannya seperti tanaman hias dan sayuran contonya selada. Mulsa plastik perak-perak merupakan plastik yang kedua permukaannya berwarna perak sehingga menjaga suhu di dalam tanah tetap dingin dan lembab.

  8. Mulsa plastik hitam perak merupakan mulsa yang permukaan plastiknya terdiri dari warna hitam dan perak. Fungsi mulsa plastik hitam perak ini yaitu mampu memantulkan cahaya matahari serta menurunkan suhu tanah di bawahnya, mengontrol pertumbuhan gulma, dan melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit (Tani Untung, 2023).

Mulsa plastik bening (Anonim, 2022)

Mulsa plastik putih (Anonim, 2021)

Mulsa plastik perak (Anonim, 2023)

Mulsa plastik hitam (Anonim, 2022)

Mulsa plastik merah (Anonim, 2018)

Mulsa plastik biru (Teo Spengler, 2021)

Mulsa plastik perak-perak (Anonim, 2022)

Mulsa plastik hitam perak (Anonim, 2020)

Tindakan Kuratif

Teknik pengendalian selanjutnya yaitu tindakan kuratif atau tindakan penyembuhan, teknik ini sangat penting dilakukan untuk mencegah hama dan penyakit pada tanaman cabai semakin menyebar dan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi terganggu. Berikut beberapa teknik pengendalian secara kuratif yang dapat dilakukan oleh petani apabila tanaman cabai telah terserang hama dan penyakit.

1. Pemasangan Perangkap

Pengendalian hama terpadu (PHT) menjadi konsep pengendalian dengan menggunakan lebih dari satu komponen pengendalian yang dimaksudkan agar populasi hama yang menyerang tanaman tidak merugikan secara ekonomis, dan aman terhadap lingkungan. Salah satu komponen pengendalian PHT yaitu teknik pengendalian secara mekanik dan fisik di antaranya dengan pemasangan perangkap. Jenis-jenis perangkap yang biasa digunakan petani di antaranya penggunaan perangkap lampu, feromon, perekat, dan penanaman tanaman perangkap yang bertujuan untuk mengendalikan populasi hama (Laba et al., 2014). Syamsiah & Dikri (2020) menyatakan perangkap lampu dapat menarik berbagai jenis serangga lepidoptera yang aktif pada malam hari yang tertarik pada cahaya lampu. Penggunaan perangkap feromon seks memiliki kemampuan yang sangat efektif dan efisien serta ramah lingkungan dalam mengendalikan hama. Penggunaan perangkap feromon akan menurunkan tingkat populasi serangga jantan sehingga dapat menekan terjadinya jumlah serangga yang berkopulasi (kawin) dan menyebabkan tingkat populasi hama serangga akan menurun pada musim berikutnya. Feromon merupakan senyawa kimia yang digunakan hama serangga sebagai alat berkomunikasi dengan individu lain dalam satu spesies yang sama. Hasil penelitian (Putra et al., 2013) yang melakukan pemantauan populasi imago Helicoperva armigera menggunakan perangkap feromon seks diperoleh mampu menekan populasi di setiap lokasi percobaan. Jenis perangkap lainnya adalah pemasangan warna berperekat (sticky trap) di mana perangkap ini pada umumnya sering digunakan petani karena lebih praktis dalam pemanfaatannya untuk menarik serangga hama (Hasibuan, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Amirullah & Wati, (2019) yang mana melakukan pengujian untuk mengetahui efektivitas beberapa warna perangkap terhadap populasi hama lalat buah pada tanaman cabai merah diperoleh perangkap dengan warna kuning dapat menangkap populasi lalat buah lebih banyak dari pada perangkap berwarna merah. Menurut (Hasibuan, 2020) warna kuning bagi serangga menandakan buah-buahan itu masak, maka menyebabkan serangga hama lebih tertarik terhadap warna kuning.

Perangkap lampu (Light trap) (Sumber: Anonim, 2016)

Perangkap feromon (Sumber: Anonim, 2019)

Perangkap warna berperekat (Sumber: DISTAN, 2018)

Tanaman perangkap Kenikir di lahan cabai (Indarto, 2020)

Pengendalian lain yaitu dengan menggunakan tanaman perangkap atau yang dikenal dengan tanaman refugia berfungsi sebagai tanaman inang alternatif yang lebih disukai serangga hama dan menarik serangga hama agar meletakkan telurnya pada tanaman perangkap dari pada tanaman utama. Penanaman tanaman refugia juga dapat meningkatkan mortalitas hama sehingga perkembangan populasi hama terhambat. Penggunaan tanaman perangkap dapat bersifat menolak (repellent) atau menarik hama (attractant) di mana mekanisme yang terjadi yaitu jika tanaman perangkap bersifat menarik hama, tanaman perangkap akan memiliki daya tarik yang lebih kuat dibandingkan tanaman utama, sehingga hama lebih menyukai berada pada tanaman perangkap dibanding tanaman utama (Sunarto & Sujak, 2016). Tanaman kenikir (Tagetes erecta) dan tanaman jagung yang ditanam disekeliling tanaman utama berfungsi sebagai tanaman perangkap bagi Helicoperva armigera. Rambut yang ada pada tongkol jagung menjadi medium peletakan telur karena adanya trichom, yang mana semakin tinggi jumlah trichom persatuan luas maka semakin banyak telur yang diletakkan. Tanaman Tagetes erecta dapat menjadi tanaman perangkap disebabkan bunga Tagetes erecta mampu menarik serangga betina Helicoperva armigera untuk meletakkan telur pada tanaman Tagetes erecta. Hasil penelitian diperoleh penggunaan tanaman perangkap jagung dan kenikir berpengaruh terhadap besarnya intensitas serangan Helicoperva armigera, sehingga presentase kerusakan buah pada tanaman utama menjadi rendah akibatnya hasil panen lebih tinggi dibandingkan dengan penanaman secara monokultur (Wahidah et al., 2015).

Teknik pengendalian menggunakan perangkap selanjutnya yaitu dengan menggunakan warna dan cahaya fluorense yang berbeda-beda yang diterapkan di areal pertanaman cabai. Fluorense adalah pemedaran radiasi cahaya oleh suatu materi setelah tereksitasi oleh berkas cahaya berenergi tinggi, mekanismenya cahaya diserap terlebih dahulu oleh daerah gelap flourense kemudian memancarkan cahya yang kuat berwarna merah, kuning, dan hijau. Sifat serangga salah satunya memiliki ketertarikan terhadap cahaya yang dalam praktiknya petani biasa menggunakan lampu petromak. Hasil penelitian penggunaan perangkap fluorense menunjukkan lebih efektif dalam menangkap serangga hama dalam areal tanaman cabai dibandingkan perangkap warna (Hasibuan, 2020).

2. Pengendalian Menggunakan Musuh Alami

Pengendalian hama Helicoverpa armigera dapat dilakukan menggunakan musuh alami dengan berupa parasitoid yang dominan memarasit telur H. armigera pada tanaman jagung adalah genus Trichogramma dan Trichogrammatoidea (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Musuh alami yang dominan pada pertanaman jagung adalah laba-laba serigala. Predator Staphylinidae atau orang sering menyebutnya mampu mengonsumsi sekitar 15 telur H. armigera per hari (Nurlaili, 2020).

Parasitoid Trichogramma (Ray, 2023)

Laba-laba serigala predator (Brunkey, 2023)

Predator Staphylinidae (Khodijah, 2016)

3. Pengendalian Secara Kimia

Penggunaan pestisida sintetik masih menjadi andalan oleh petani dalam mengatasi serangan hama Helicoverpa armigera. Aplikasi insektisida dengan bahan aktif: Asefat 75 %. Pengujian ini menggunakan konsentrasi 0,5 g/l dan 1 g/l, dan diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa aplikasi insektisida tersebut memperlihatkan penekanan secara signifikan terhadap kerusakan hama Helicoverpa armigera pada tanaman cabai dan mengetahui efek fitotoksik insektisida terhadap tanaman cabai (Hidayat, & Afdal, 2021). Penggunaan pestisida sintetik untuk mengendalikan H. armigera dengan berbahan aktif (karbofuran 3%) 30 kg/ha dilakukan dengan cara penyemprotan secara langsung melalui pucuk tanaman jagung. Namun, penggunaan pestisida sintetik menimbulkan berbagai dampak negatif seperti resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami, dan mencemari lingkungan. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian pengendalian H. armigera yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan manusia.

Pengendalian yang ramah lingkungan dilakukan dengan menggunakan bioinsektisida berbahan aktif dari senyawa-senyawa pada limbah tembakau, bertujuan untuk memanfaatkan limbah tembakau hasil pengolahan rokok, sehingga hasil yang diharapkan yaitu limbah tembakau mampu menjadi pestisida nabati yang efektif dalam mengendalikan serangan H. armigera pada tanaman jagung (Ningsih, 2019). Aplikasi insektisida nabati dengan menggunakan ekstrak biji pinang (70 g/l dan 80 g/l), ekstrak daun bintaro (80 g/l) dan menggunakan ekstrak dari daun sirih hutan, mimba, sirsak dan paitan dengan konsentrasi yang sama (100 g/l air) (Eva,2016). Dengan masing-masing konsentrasi secara merata pada seluruh permukaan tanaman jagung dimulai pada umur 2 minggu setelah tanam (MST) hingga 8 MST dan dilakukan secara periodik dengan interval 1 minggu sekali dengan menggunakan hand sprayer. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari pukul 07.00 - 09.00 WIB (Ginting et al., 2022).

Pentingnya pengembangan pestisida nabati memiliki kelebihan antara lain ramah lingkungan, murah dan mudah didapat, tidak meracuni tanaman, tidak menimbulkan resistensi hama, mengandung unsur hara yang diperlukan tanaman, kompatibel digabung dengan pengendalian lain dan menghasilkan produk pertanian yang bebas residu pestisida (Kholidia, (2019). Pestisida nabati juga memiliki beberapa kelemahan yaitu daya kerjanya relatif lambat, tidak membunuh hama target secara langsung, tidak tahan terhadap sinar matahari, kurang praktis, tidak tahan lama disimpan dan kadang-kadang harus disemprot berulang-ulang (Dewi, 2017).

Monitoring

Tanaman cabai merupakan tanaman dengan potensi ekonomi besar di Indonesia. Meskipun demikian, setiap tahunnya produksi cabai mengalami penurunan yang salah satunya dikarenakan gangguan hama dan penyakit. Pengamatan kondisi pada tanaman cabai dapat dilihat pada perubahan yang terjadi pada daun cabai. Deteksi penyakit pada daun cabai diperlukan untuk meminimalisir resiko gagal panen pada tanaman cabai serta sebagai upaya pengendalian secara strategis. Jumlah jenis hama dan penyakit pada tanaman cabai yang cukup banyak ditemukan dan pengetahuan tentang gejala-gejala hama dan penyakit yang kurang membuat para petani cukup kesulitan untuk menentukan jenis hama dan penyakit yang menyerang. Oleh karena itu, diperlukan sistem yang mampu untuk mengendalikan hama pada daun cabai seperti Helicoverpa armigera.

1. Pemantauan Visual Tanaman

Pemantauan visual tanaman, seperti pemantauan gejala secara berkala pada daun cabai, merupakan langkah yang penting dalam mendeteksi dan mengendalikan penyakit pada tanaman. Pemantauan berkala dapat dilakukan dengan melihat dan mencatat gejala-gejala yang muncul pada daun cabai, seperti warna, bentuk, dan ukuran. Gejala serangan Helicoverpa armigera pada tanaman cabai meliputi buah cabai yang terserang ulat buah menunjukkan gejala berlubang-lubang kecil, larva atau ulat akan ditemukan di dalam buah, ulat buah menyerang buah cabai dengan cara melubangi dinding buah cabai, maka perlu dilakukan pengendalian. Dokumen menyebutkan bahwa pemantauan keadaan tanaman cabai yang terserang penyakit bercak daun dilakukan oleh POPT (Pengelolaan Pertanian dan Pengembangan Tanaman). Selain itu, dokumen menyebutkan bahwa pemantauan dan deteksi penyakit pada daun cabai dapat dilakukan dengan menggunakan fitur HSV (Hue, Saturation, Value), (Maulana et al., 2021).

Gejala serangan pada Buah cabai yang telah terserang oleh hama Helicoverpa armigera (Maulana et al., 2021)

Ambang batas ekonomi dalam pengendalian hama ulat buah Helicoverpa armigera adalah tingkat populasi serangga atau tingkat kerusakan hama pada tanaman cabai di mana nilai ekonomi tanaman yang dimusnahkan melebihi biaya pengendalian hama. Maka pengendalian hama tidak menguntungkan secara ekonomis. Ambang ekonomi Helicoverpa armigera pada cabai adalah saat ditemukan 3 tingkat kerusakan larva Helicoverpa armigera per m2 atau tingkat kerusakan daun mencapai 33% pada fase pertumbuhan (Marwoto dan Suharsono (2008). Berdasarkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT), maka penggunaan insektisida harus berdasarkan ambang ekonomi. Ambang ekonomi Helicoverpa armigera pada cabai dan jagung yang ditetapkan secara umum intensitas kerusakan sebesar 12,5% pada umur tanaman 20 HST dan pada fase vegetatif, bila ditemukan 10 ekor instar-3 per 10 rumpun tanaman. Ambang luka ekonomi pada fase pembentukan bunga dan pembentukan buah adalah 2 ekor larva per 1 m baris tanaman (Fattah, 2018).

Untuk mengendalikan ulat Helicoverpa armigera dengan bahan kimia, perlu diperhatikan bahwa pestisida kimia yang tidak selektif secara terus-menerus dapat mengakibatkan beberapa jenis hama yang tidak diinginkan, seperti kolibri, yang akan menjadi hama yang lebih serius dan akan mempengaruhi produktivitas tanaman. Penggunaan pestisida kimia harus dilakukan dengan cara yang benar, seperti mengikuti dosis yang tepat, menggunakan peralatan yang benar, dan mengikuti peraturan penggunaan pestisida kimia (Hidayat, F. & Afdal, 2021).

Hama Helicoverpa armigera pada buah cabai (Hidayat, F. & Afdal, 2021)

2. Berkonsultasi dengan Ahli Agronomi

Mintalah saran dari pakar pertanian, seperti ahli agronomi atau ahli patologi tanaman, untuk rekomendasi dan saran yang disesuaikan dalam mengendalikan serangan ulat buah di lokasi spesifik dan kondisi pertanaman cabai. Berkonsultasi dengan agronomis (ahli agronomi) menjadi hal yang cukup penting bagi seorang petani agar dapat mempertimbangkan terkait teknik pengendalian hama ulat buah pada tanaman cabai. Para ahli agronomi telah melakukan berbagai penelitian sehingga memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas di bidang pertanian khususnya terkait pengendalian hama. Beberapa agronomis yang dapat menjadi rekomendasi sebagai mitra petani di antaranya peneliti Balai Pertanian, dosen/akademisi, konsultan, dan petani yang memiliki pengalaman luas di bidang pertanian.

Selalu penting untuk diingat bahwa dalam pengendalian hama trips pada cabai, tindakan pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Memilih varietas padi yang tahan, menerapkan praktik pengelolaan tanaman yang sesuai, dan melakukan pemantauan rutin di lahan Anda adalah langkah utama dalam mengurangi risiko serangan hama ulat buah yang dapat mempengaruhi produktivitas cabai.

Unduh Wiki

Teknik Pengendalian Hama Ulat Buah (Helicoverpa armigera Hubner) pada Tanaman Cabai

Referensi

Amir, N., Paridawati, I., & Alamsyah, D. (2022). Jenis Mulsa Organik Dan Pupuk Hayati Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.). Klorofil, XVII(1), 8–13.

Amirullah, J., & Wati, C. (2019). Uji Efektivitas Beberapa Warna Perangkap terhadap Populasi Lalat Buah Bactrocera sp. (Diptera: Tephritidae) pada Tanaman Cabai Merah. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2018, 482–487.

Ardhona, S., Hendarto, K., Karyanto, A., & Ginting, Y. C. (2013). Pengaruh Pemberian Dua Jenis Mulsa dan Tanpa Mulsa Pengaruh Pemberian Dua Jenis Mulsa Dan Tanpa Mulsa Terhadap Karakteristik Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L) PADA DATARAN RENDAH. Journal Agrotek Tropika, 1(2), 153–158.

Asril, M., Ginting, M. S. G., Suyono, Septariani, A. D. N., Risnawati, Joeniarti, E., Adiwena, M., Pradana, P. A., Susanti, Y., Ramdan, E. P., & Junairiah. (2022). Pengantar Pelindungan Tanaman (Vol. 1).

BALITSA, Netherlands, W. T., & Ewindo, PT. (2014). Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Pada Budidaya Cabai Merah, (pp. 41–50).

Czepak, C., Albernaz, K. C., Vivan, L. M., Guimarães, H. O., & Carvalhais, T. (2013). First reported occurrence of Helicoverpa armigera (Hübner)(Lepidoptera: Noctuidae) in Brazil. Pesquisa Agropecuária Tropical, 43, 110–113. https://doi.org/10.1590/S1983-40632013000100015.

Darmawan, I. G. P., Nyana, I. D. N., & Gunadi, I. G. A. (2014). Pengaruh Penggunaan Mulsa Plastik terhadap Hasil Tanaman Cabai Rawit (capsicum frutescens l.) di Luar musim di Desa Kerta. E-Jurnal Agroteknologi Tropika, 3(3). http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT.

Dewi, M, A Yuli, D Salbiah, & A Sutikno. (2017). Uji beberapa konsentrasi tepung biji pinang (Areca catechu L.) terhadap mortalitas larva penggerek tongkol jagung manis (Helicoverpa armigera Hubner). Doctoral Dissertation Riau University.

Eva, L., B. (2016). Uji daya bunuh ekstrak biji sirsak (Annona muricata) terhadap larva kubis Plutella xylostella (Linn.) (Lepidoptera: Plutellidae). Jurnal Ilmiah Sains. 16(2), 98- 103.

Ginting, S., Fahrurrozi., & Analisa, W. (2022). Keefektifan Berbagai Jenis Insektisida Nabati terhadap Beberapa Hama Penting pada Jagung Manis yang Ditanam Secara Konvensional, Jurnal Agrikultura. 33(3), 359-368.

Haile, F., Nowatzki, T., & Storer, N. (2021). Overview of pest status, potential risk, and management considerations of Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae) for US soybean production. Journal of Integrated Pest Management, 12(1), 3. DOI: 10.1093/jipm/pmaa030.

Hasibuan, S. (2020). Pengendalian terpadu hama pada tanaman cabai (capsicum annum l) dengan menggunakan perangkap fluorense dan berbagai perangkap warna. Jurnal HPT, 1(2), 1022–1033.

Hasyim, A., Setiawati, W., & Murtiningsih, R. (2013). Perilaku memanggil ngengat betina dan evaluasi respons ngengat jantan terhadap ekstrak kelenjar feromon seks pada tanaman cabai merah. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development. https://dx.doi.org/10.21082/jhort.v23n1.2013.p72-79.

Herlinda, S., Hama, J., Tumbuhan, P., & Pertanian, F. (2005). Bioekologi Helicoverpa Armigera (Hübner) (Lepidoptera: Noctuidae) Pada Tanaman Tomat Bio-Ecology of Helicoverpa armigera (Hübner) (Lepidoptera: Noctuidae) on Tomato. Agria, 2(1), 32–36.

Hidayat, F. & Afdal, (2021). Pengujian Lapangan Efikasi Insektisida Asiafat 75 Sp (Bahan Aktif: Asefat 75 %) Terhadap Hama Penggerek Buah (Helicoverpa Armigera) Pada Tanaman Cabai. Unand. Andalas.

Hidayat, T., Dinata, K., Ishak, A., & Ramon, E. (2022). Identifikasi Hama Tanaman Cabai Merah Dan Teknis Pengendaliannya Di Kelompok Tani Sari Mulyo Desa Sukasari Kecamatan Air Periukan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Agrica Ekstensia, 16(1). https://doi.org/10.55127/ae.v16i1.109.

Kholidia, A. (2019). Uji Semi Lapang Pengaruh Insektisida Nabati Granula Ekstrak Daun Bintaro (Cerbera odollam G.) terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman Selada (Lactuca sativa L.) Sebagai Buku Ilmiah Populer. Skripsi. Universitas Jember.

Laba, I. W., Wahyuno, D., & Rizal, M. (2014). Peran PHT, Pertanian Organik, dan Biopestisida Menuju Pertanian Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik, 6(3), 25–34.

Maulana, R,. Fitriyah, H., & Zuain, S, S, (2021). Deteksi Penyakit pada Daun Cabai berdasarkan Fitur HSV dan GLCM menggunakan Algoritma C4.5 berbasis Raspberry Pi. Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer. 5 (9), 3934 – 3936.

Muslim, M., & Soelistyono, R. (2017). The Effect Of Silver Black Plastic Mulch With Various Form And High Of Seedbed On Growth Of Cauliflower (Brassica oleracea var. Botrytis L.). PLANTROPICA Journal of Agricultural Science. 2017, 2(2), 85–90.

Ningsih, Y. (2019). Uji Efektivitas Ekstrak Limbah Tembakau Sebagai Pestisida Nabati Terhadap Ulat Helicoverpa Armigera (Lepidoptera: Noctuidae) Pada Jagung.[skripsi]. Universitas Brawijaya. Malang.

Nurlaili, P. (2020). Pengendalian Hama Penggerek Tongkol Pada Jagung. IPB digitani Lumbung Informasi Pertanian.

Pracaya. (2007). Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya.

Putra, G., Sudiarta, I., Dharma, I., Sumiartha, K., & Srinivasan, R. (2013). Pemantauan Populasi Imago Spodoptera litura dan Helicoverpa armigera Menggunakan Perangkap Seks Feromon. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika (Journal of Tropical Agroecotechnology), 2(1), 56–61.

Rosdiana, Asaad, M., & Mantau, Z. (2011). Teknologi Budidaya Cabai rawit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.

Sopialena. (2019). Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuham melalui Budidaya Tanaman Untuk Pertanian Masa Depan (pp. 1–154).

Subiyakto, D. I., Indrayani, G. A. A., Penelitian, B., Tembakau, T., & Serat, D. (2008). Pengendalian Hama Kapas Menggunakan Mulsa Jerami Padi. 7(2), 55–64.

Sunarto, N., & Sujak, D. A. (2016). Tanaman Perangkap untuk Pengendalian Serangga Hama Tembakau. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri, 1(2), 55. https://doi.org/10.21082/bultas.v1n2.2009.55-68.

Syamsiah, M., & Dikri, A. F. (2020). Penggunaan Beberapa Perangkap Untuk Mengendalikan Hama Penggerek Batang Padi Pandanwangi (Oryza sativa var. aromatic) Pada Fase Generatif. Pro-STek, 1(1), 51. https://doi.org/10.35194/prs.v1i1.821.

Tinambunan, E., Setyobudi, L., & Suryanto, A. (2014). Penggunaan Beberapa Jenis Mulsa Terhadap Produksi Baby Wortel (Daucus Carota L.) Varietas Hibrida Using Some Mulch On Production Of Hybrid Varieties Of Baby Carrot (Daucus carota L.). Jurnal Produksi Tanaman, 2(1), 25–30.

Wahidah, F. F., Mudjiono, G., & Karindah, S. (2015). Pengaruh Zea mays L. Dan Tagetes erecta L. Sebagai Tanaman Perangkap Terhadap Populasi Helicoverpa armigera Hubn. (Lepidoptera: Noctuidae) Pada Tomat Organik. 3, 72–78.

Yadav, S. P. S., Lahutiya, V., & Paudel, P. (2022). A review on the biology, ecology, and management tactics of helicoverpa armigera (Lepidoptera: noctuidae). Turkish Journal of Agriculture-Food Science and Technology, 10(12), 2467–2476. https://doi.org/10.24925/turjaf.v10i12.2467-2476.5211.

Zhou, X. Ping, & Tian, F. (2022). Integrated pest management and plant health. In Journal of Integrative Agriculture (Vol. 21, Issue 12, pp. 3417–3419). Editorial Department of Scientia Agricultura Sinica. https://doi.org/10.1016/j.jia.2022.10.013.

Zuim, V., & Pratissoli, D. (2015). LAGARTA DAS PARTES REPRODUTIVAS (Helicoverpa armigera) (pp. 96–105).